.

Selamat Datang Di Blog Vihara Budi Dharma Purwakarta. Alamat: Jalan Jend.Sudirman No 181 Purwakarta 41115. e-mail: pmvbudidharma@yahoo.com

Sabtu, 23 Februari 2013

Reformasi Batin

Reformasi Batin

Reformasi Batin

Oleh : V.Nyana



Prolog

Ketika sedang di depan televisi, terlihat dengan jelas bagaimana situasi tanah air saat ini yang diwarnai dengan peristiwa kekerasan, kerusuhan, krisis moneter, pertarungan politik, dan sebagainya. Hal ini menunjukkan bahwa bangsa ini sedang berada dalam arus reformasi, dimana dituntut suatu perubahan sistem secara teratur dan sistematis. Proses reformasi ini memakan korban yang tidak sedikit jumlahnya. Namun yang dibahas disini bukanlah reformasi seperti ini, namun yang dimaksud adalah reformasi sangat diperlukan oleh setiap orang, yang akan merubah tatanan berpikir seseorang, yang akan membawa kebahagiaan bagi setiap orang. Reformasi ini adalah Reformasi Batin kita sendiri.

Pada Awalnya

Saat Sang Boddhisatta sedang mencari obat untuk mengatasi lahir, tua, sakit dan mati, beliau mempraktekkan cara-cara yang biasa dilakukan oleh para pertapa, Brahmana, maupun para Resi di masa tersebut. Sang Boddhisatta bertekad bahwa beliau tidak akan menyerah walaupun darah beliau mengering, badannya menjadi sangat kurus seperti tengkorak hidup akibat bertapa menyiksa diri dengan sangat keras. Suatu saat Sang Boddhisatta menyadari bahwa jalan yang ditempuh keliru, beliau kemudian melepaskan keterikatan pada pandangan yang salah. Beliau menyadari bahwa jalan yang dilaksanakan adalah jalan yang salah. Reformasi telah terjadi, beliau melepaskan keterikatan pada pandangan yang salah. Kemudian beliau mencari sendiri dan menemukan jalan tengah untuk mencapai penerangan sejati dan menjadi seorang Buddha.

Masa kini

Kini, jaman sudah jauh berbeda dengan jaman ketika Sang Buddha Gotama hidup. Dahulu kalau seseorang ingin berkunjung ke tempat lainnya, memerlukan waktu yang lama, bahkan bisa berhari-hari. Sekarang orang dengan mengendari kendaraan bermotor, dapat dengan cepat sampai di tujuan. Bahkan untuk jarak yang sangat jauhpun dapat ditempuh dengan waktu yang singkat dengan pesawat terbang. Dahulu, sangat sulit bagi seseorang bila ingin bercakap-cakap kalau tidak bertatap muka. Sekarang walaupun seseorang terpisah, orang tersebut tetap dapat bercakap-cakap dengan pesawat telpon. Jaman yang modern ini telah juga membawa kemajuan yang sangat pesat di bidang pengelolaan sumber daya alam, ilmu pengobatan, serta semua fasilitas hiburan yang bahkan tidak pernah dibayangkan oleh orang-orang yang hidup pada masa 20-30 tahun yang lalu.

Singkatnya Ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia ini semakin maju dan menjadi semakin sempit. Kemajuan jaman ini juga menuntut setiap orang yang berkecimpung di dalamnya untuk survive atau menyesuaikan diri sehingga dapat menjaga kelangsungan hidupnya. Dalam menjaga kelangsungan hidupnya, setiap individu dituntut untuk berusaha lebih keras, sehingga tidak terlindas oleh kemajuan jaman. Tuntutan jaman yang lebih keras ini akan menyebabkan timbulnya berbagai masalah bagi dirinya sendiri maupun orang lain. Sehingga timbullah suatu penyakit yang tidak pernah dirasakan oleh orang-orang terdahulu, yang kini dikenal dengan penyakit Stress.

Saat ini, banyak sekali manusia modern, terutama yang hidup di kota-kota besar, walaupun memiliki semua kemudahan dan fasilitas hiburan yang sangat beragam namun tidak pernah memuaskan mereka. Diibaratkan seperti seseorang yang meneguk air laut, semakin banyak di teguk, semakin haus saja rasanya. Perjuangan untuk hidup di jaman modern ini menuntut kerja yang lebih giat, sehingga timbulah ketegangan-ketegangan.Disamping itu aktivitas sehari-hari yang monoton juga menyebabkan seseorang terjebak dalam lingkaran kebosanan yang tidak habis-habisnya. Ketegangan dan kebosanan ini biasanya dikendurkan melalui aktivitas-aktivitas yang positif melalui relaksasi dan rekreasi. Berolahraga, mendaki gunung, rekreasi ke luar kota maupun mengunjungi tempat-tempat hiburan merupakan sarana untuk mengendurkan urat saraf yang lelah. Banyak juga yang mencari aktivitas yang negatif, seperti mengkonsumsi minuman keras dan obat-obat terlarang.

Cara-cara semacam ini dapat menghilangkan ketegangan dan kebosanan dalam kehidupan sehari-hari, namun hanya bersifat sementara. Semakin seseorang tenggelam dalam hiburannya, maka dia akan semakin merasa tidak puas. Tidak pernah ada pemuasan dari indera-indera kita. Biasanya akan timbul ketegangan yang lebih hebat lagi dibandingkan dengan sebelumnya, sehingga orang tersebut akan menuntut hiburan yang lebih dan lebih lagi. Kalau memang demikian siapa yang disalahkan ? Jaman yang modern ?, tuntutan pekerjaan untuk hidup ?, orang di sekitar kita ? Ilmu pengetahuan ? atau diri kita sendiri ?

Diri Sendiri

Kalau seseorang mau melihat dirinya dengan jujur dan benar, maka akan diketahui bahwa dari diri sendirilah semua masalah dan ketegangan itu timbul. Oleh diri sendirilah penderitaan muncul dan oleh diri sendirilah penderitaan dapat dihilangkan. Sang Buddha dalam kitab Dhammapada mengatakan bahwa ‘ Pikiran adalah pelopor, pikiran adalah pemimpin, bila seseorang berbuat dengan pikiran bajik, maka kebahagiaan yang akan diperolehnya, sebaliknya bila seseorang berbuat dengan pikiran yang buruk, penderitaaanlah yang akan diperolehnya’. Sehingga hanya orang yang dapat MENGENDALIKAN PIKIRANNYA- lah yang dapat mendapatkan kebahagiaan. Jaman boleh saja berubah, fasilitas dan sarana boleh saja bertambah maju dan modern, namun dari dahulu kala hingga saat ini semua permasalahan manusia selalu berawal dari pikirannya sendiri. Pikiran yang tidak pernah dilatih pasti selalu menimbulkan masalah. Oleh sebab itu kalau seseorang menyadari dengan baik, dia tidak akan menyalahkan orang lain atas segala kondisi yang ada, sehingga tidak akan pernah ada ketegangan-ketegangan dan kebosanan dalam hidupnya.

Namun sungguh sulit untuk dapat mengendalikan pikiran sendiri. Dalam Dhammapada, Sang Buddha menyatakan bahwa seseorang yang mampu menaklukkan beribu-ribu musuh di medan peperangan tidak dapat dibandingkan dengan seseorang yang mampu menaklukkan dirinya sendiri. Untuk dapat mengendalikan diri sendiri diperlukan suatu LATIHAN yang teratur. Latihan ini bukanlah program satu dua hari, satu dua bulan atau hanya dilaksanakan untuk beberapa tahun. Namun latihan ini adalah program untuk seumur hidup. Dari tahap inilah REFORMASI BATIN dimulai. Reformasi batin inilah yang nantinya akan membawa seseorang mampu mengatasi masalahnya sendiri dalam kehidupan sehari-hari, bahkan pada tingkat yang lebih tinggi lagi dapat membawa seseorang pada pemahaman yang sejati dari semua yang ada.

Reformasi batin ini harus dimulai dengan mengubah pola pikir seseorang bahwa semua permasalahan berasal dari dirinya sendiri. Reformasi berpikir ini akan mengantar seseorang pada sikap sabar dan toleran dalam menjalani latihan. Ini merupakan suatu hal yang sangat mudah untuk diucapkan, namun sangat sulit untuk dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. Sang Buddha menyatakan bahwa sabar adalah tapa yang paling tinggi, sehingga tidaklah salah bila mengatakan kesabaran adalah hal yang tidak mudah dilakukan oleh setiap orang. Setelah seseorang dapat mengubah pandangan salahnya, maka ia akan menjadi lebih mudah dalam menjalani latihan untuk mengendalikan pikirannya sendiri.

EGO

Kalau seseorang mau menyelidiki pikiran sendiri, maka ia akan menjumpai masalah klasik yang sama, dimana ketegangan dan kebosanan selalu timbul bila pikiran meminta sesuatu kepada orang lain. Biasanya seseorang berpikir ‘Apa yang bisa dia berikan kepada saya ? ‘ Jarang sekali seseorang mau berpikir ‘Apa yang bisa saya berikan kepadanya ?’ Ego inilah yang sering membawa kita kepada banyak masalah yang pada akhirnya menimbulkan stres, bosan dan sebagainya… Oleh karena itu untuk mengendalikan pikiran agar terbebas dari semua masalah yang ada, diperlukan REFORMASI CARA BERPIKIR sehingga sedikit demi sedikit seseorang akan mampu melepaskan diri dari pikiran yang selalu mementingkan diri sendiri. Untuk itu setiap orang harus mempunyai pola pikir yang MELEPAS, bukan MEMINTA.

LATIHAN MELEPAS

Cara yang paling mudah adalah dengan cara BERDANA. Berdana adalah melepas sebagian bahkan seluruh milik kita untuk kebahagiaan orang lain. Yang paling penting dari berdana ini adalah pikiran selalu terlatih untuk melepas, sehingga ego semakin lama akan semakin berkurang. Cara yang lebih tinggi adalah dengan melaksanakan moralitas atau SILA. Melatih diri untuk tidak membunuh berarti melepas kekejaman seseorang untuk menghilangkan nyawa mahluk lainnya. Melatih diri untuk tidak mengambil barang yang tidak diberikan berarti melepas keserakahan seseorang terhadap milik orang lain. Melatih diri untuk tidak melakukan perbuatan asusila, berarti melepas keinginan-keinginan yang tidak patut. Melatih diri untuk tidak mengeluarkan ucapan yang tidak benar berarti melepas keinginan untuk berbohong dan menjelekkan orang lain. Melatih diri untuk tidak minum minuman keras yang memabukkan berarti melepas keinginan akan benda-benda yang dapat menghilangkan kesadaran. Ke-lima sila inilah yang akan menyebabkan seseorang menjadi harmoni dengan orang lainnya dan kelima sila ini selalu berintikan pada pikiran yang MELEPAS. Latihan yang lebih tinggi lagi adalah MEDITASI. Meditasi akan melihat dan menganalisa pikiran secara langsung pada pusatnya. Meditasi inilah yang akan membawa seseorang pada pemahaman akan kehidupan ini beserta semua aspeknya.

PENUTUP

Melepas berarti berusaha untuk tidak melekat, mengetahui sifat-sifatnya dengan jelas dimana semuanya itu bersifat selalu berubah(Anicca), tidak memuaskan (Dukkha) dan tanpa inti (Anatta). Semua sarana dan fasilitas yang ada di kehidupan modern ini tidak akan menjadi musuh, tidak akan menjadi sesuatu yang menakutkan dan tidak akan ada alasan untuk timbulnya ketegangan dan kebosanan, karena pikiran sudah dapat dikendalikan sehingga tidak lagi mementingkan diri sendiri serta mampu untuk melepas. Pada saat inilah kebahagiaan sejati akan timbul, kebahagiaan yang timbul dari MELEPAS, bukan dari benda-benda yang ada.Inilah REFORMASI BATIN yang sangat diperlukan oleh manusia modern saat ini.

( sumber: http://artikelbuddhist.com/2011/07/reformasi-batin.html )

Kamis, 14 Februari 2013

Buddhisme dan Politik


Buddhisme dan Politik

Buddhisme dan Politik
Oleh: Sujayo

Sang Buddha berasal dari sebuah kasta ksatria yang mengondisikan Beliau banyak bergaul dengan para raja, pangeran, dan menteri.Walaupun demikian, Beliau tidak pernah memaksakan pengaruh kekuatan politik untuk memperkenalkan ajarannya. Ataupun memperbolehkan ajarannya disalahgunakan untuk memperoleh kekuatan politik. Tetapi, saat ini banyak politisi mencoba menyeret nama Agama Buddha ke dalam politik dengan memperkenalkan Beliau sebagai komunis, kapitalis, atau bahkan seorang imperialis. Mereka telah lupa bahwa filosofi politik baru yang telah kita kenal berkembang di dunia Barat jauh setelah masa Sang Buddha. Usaha untuk mencampuradukkan agama dengan politik pun sering terjadi. Padahal, kalau dilihat agama berdasarkan pada moralitas, kemurnian, dan keyakinan, sedangkan dasar politik adalah kekuatan. Dilihat dari sejarah masa lalu, agama telah sering digunakan untuk memberi hak bagi orang-orang yang berkuasa. Agama digunakan untuk membenarkan perang dan penaklukan, penganiayaan, kekejaman, pemberontakan, penghancuran karya~karya seni dan kebudayaan. Ketika agama.digunakan sebagai perantara tindakan-tindakan politik, agama tidak lagi dapat memberikan keteladanan moral yang tinggi dan derajatnya direndahkan oleh kebutuhan-kebutuhan politik duniawi.

Tujuan Buddha Dhamma tidak diarahkan pada penciptaan lembaga-lembaga politik baru dan menyusun rencana-rencana politik. Pada dasarnya, agama mencari pendekatan masalah-masalah kemasyarakatan dengan memperbaiki individu-individu dalam masyarakat tersebut dan menganjurkan beberapa prinsip umum untuk dituntun ke arah nilai-nilai kemanusiaan yang tinggi. Memperbaiki kesejahteraan anggota-anggotanya dan lebih adil dalam membagi sumber daya-sumber daya. Sistem politik dapat menjaga kebahagiaan dan kesejahteraan masyarakat, tapi ada batasannya, Bagaimanapun idealnya suatu sistem politik, tidak dapat menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan selama orang-orang dalam sistem tersebut dikuasai keserakahan, kebencian, dan kebodohan.
Sebagai tambahan, tidak peduli sistem politik apa yang diambil, ada faktor-faktor universal tertentu yang harus dialami anggota-anggota masyarakat, yaitu pengaruh-pengaruh kamma baik dan buruk, kurangnya kepuasan sejati atau kebahagiaan abadi dalam dunia yang bersifatdukkha (ketidakpuasan), anicca(ketidakkekalan), anatta (tanpa keakuan). Bagi umat Buddha tiada tempat dalam samsara di mana ada kebebasan sejati bahkan tidak di surga-surga atau dunia para Brahma. Meskipun suatu sistem politik yang baik dan adil menjamin hak asasi manusia dan mengawasi keseimbangan, penggunaan kekuatan adalah suatu kondisi penting bagi suatu kehidupan bahagia dalam masyarakat.
Masyarakat seharusnya tidak membuang-buang waktunya dengan pencarian tanpa akhir bagi sistem politik muktahir di mana manusia dapat bebas sepenuhnya. Karena kebebasan penuh tidak dapat ditemukan dalam sistem apapun melainkan hanya dalam batin yang bebas. Untuk menjadi bebas, orang-orang harus mencari ke dalam pikiran mereka sendiri dan bekerja ke arah pembebasan diri mereka sendiri dari belenggu kebodohan dan keinginan. Kebebasan dalam arti sebenarnya hanya mungkin ketika manusia menggunakan Dhamma untuk mengembangkan sifatnya melalui perkataan, perbuatan yang baik dan melatih pikirannya sedemikian rupa untuk mengembangkan potensi mentalnya dan mencapai tujuan akhir yaitu penerangan. Sementara mengetahui manfaat memisahkan agama dari politik dan keterbatasan sistem politik dalam menimbulkan kedamaian dan kebahagiaan.
Ada beberapa aspek dari ajaran Sang Buddha yang mempunyai hubungan dekat dengan perencanaan politik masa kini.
Pertama-tama, Sang Buddha berbicara tentang kesamaan dari semua manusia jauh sebelum Abraham Lincoln. Dan kelas-kelas juga kasta-kasta adalah pembatas buatan yang didirikan oleh masyarakat. Satu-satunya klasifikasi manusia, menurut Sang Buddha, adalah berdasarkan pada kualitas perbuatan moral mereka.
Kedua, Sang Buddha mendorong jiwa kerjasama sosial dan partisipasi aktif dalam masyarakat modern.
Tiga, karena tak seorang pun ditunjuk oleh Sang Buddha sebagai penerus, anggota-anggota Sangha dituntun oleh Dhamma dan Vinaya, atau singkatnya, Aturan Hukum. Hingga hari ini setiap anggota Sangha mematuhi Aturan Hukum yang menentukan dan menuntun perbuatan mereka.
Keempat, Sang Buddha mendorong jiwa konsultasi dan proses demokrasi. Ini diperlihatkan dalam kelompok Sangha yang semua anggotanya mempunyai hak untuk memutuskan masalah-masalah umum.
Ketika.suatu pernyataan serius timbul dan membutuhkan perhatian, persoalan- persoaian dihadapkan kepada para bhikkhu dan dibahas dalam sikap demokrasi sistem Dewan Perwakilan Rakyat yang digunakan masa kini. Prosedur pemerintahan ini mungkin mengejutkan bagi banyak orang yang mengetahui bahwa dalam majelis Agama Buddha di India lebih dari 2500 tahun yang lalu dapat ditemukan dasar praktik Dewan Perwakilan Rakyat masa kini. Seorang petugas khusus yang serupa dengan “Tuan Pembicara” ditunjuk untuk menjaga martabat majelis. Petugas kedua, yang berperan serupa dengan kepala penggerak Dewan Perwakilan Rakyat juga ditunjuk untuk melihat apakah kuorum tercapai. Masalah-masalah diajukan dalam bentuk suatu mosi yang terbuka untuk diskusi. Dalam beberapa kasus hal itu dilakukan satu kali, dalam kasus lain tiga kali.
Demikian praktik Dewan Perwakilan Rakyat, suatu rancangan dibaca tiga kali sebelum menjadi hukum. Jika diskusi memperlihatkan suatu perbedaan pendapat, hal itu harus diselesaikan dengan pengambilan suara mayoritas melalui pemungutan suara. Pendekatan Agama Buddha terhadap politik adalah kemoralan dan tanggung jawab penggunaan kekuatan masyarakat. Sang Buddha mengkotbahkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian sebagai pesan universal. Beliau tidak menyetujui kekerasan atau penghancuran kehidupan dan mengumumkan bahwa tidak ada satu hal yang dapat disebut sebagai suatu perang ‘adil’. Beliau mengajarkan, “Yang menang melahirkan kebencian, yang kalah hidup dalam kesedihan. Barang siapa yang melepaskan keduanya baik kemenangan dan kekalahan akan berbahagia dan damai”. Sang Buddha tidak hanya mengajarkan Tanpa Kekerasan dan Kedamaian, Beliau mungkin guru agama pertama dan satu-satunya yang pergi ke medan perang secara pribadi untuk mencegah pecahnya suatu perang. Beliau menguraikan ketegangan antara suku Sakya dan suku Koliya yang siap berperang atas air Sungai Rahini. Beliau juga meminta Raja Ajatasattu supaya jangan menyerang Kerajaan Vajji. Sang Buddha mendiskusikan penting dan perlunya suatu pemerintahan yang baik. Beliau memperlihatkan bagaimana suatu negara dapat menjadi korup, merosot nilainya dan tidak bahagia ketika kepala pemerintahan menjadi korup dan tidak adil. Beliau berbicara menentang korupsi dan bagaimana suatu pemerintahan harus bertindak berdasarkan pada prinsip-prinsip kemanusiaan. Suatu kali Sang.Buddha berkata,
“Ketika penguasa suatu negara adil dan baik para menteri menjadi adil dan baik; ketika para menteri adil dan baik, para pejabat tinggi adil dan baik; ketika para pejabat tinggi adil dan baik, rakyat jelata menjadi baik; ketika rakyat jelata menjadi baik, orang-orang menjadi adil dan baik”.(Anguttara Nikaya) di dalam Cakkavatti Sihananda Sutta, Sang Buddha berkata bahwa kemerosotan moral dan kejahatan seperti pencurian, pemalsuan, kekerasan, kebencian, kekejaman, dapat timbul dari kemiskinan.
Para raja dan aparat pemerintah mungkin menekan kejahatan melalui hukuman, tetapi menghapus kejahatan melalui kekuatan, takkan berhasil. Dalam Kutadanda Sutta, Sang Buddha menganjurkan pengembangan ekonomi sebagai ganti. Kekuatan untuk mengurangi kejahatan. Pemerintahan harus menggunakan sumber daya negara untuk memperbaiki keadaan ekonomi negara. Hal itu dapat dimulai pada bidang pertanian dan pengembangan daerah pedalaman, memberikan dukungan keuangan bagi pengusaha dan perusahaan, memberi upah yang cukup bagi pekerja untuk menjaga suatu kehidupan yang layak sesuai dengan martabat manusia.
Dalam Jataka, Sang Buddha telah memberikan10 aturan untuk pemerintahan yang baik, yang dikenal sebagai “Dasa Raja Dhamma”. Kesepuluh aturan ini dapat diterapkan bahkan pada masa kini oleh pemerintahan manapun yang berharap dapat mengatur negaranya. Peraturan-peraturan tersebut sebagai berikut :
01. Bersikap bebas / tidak picik dan menghindari sikap mementingkan diri sendiri.
02. Memelihara suatu sifat moral tinggi.
03. Siap mengorbankan kesenangan sendiri bagi kesejahteraan rakyat.
04. Bersikap jujur dan menjaga ketulusan hati.
05. Bersikap.baik hati dan lembut.
06. Hidup sederhana sebagai teladan rakyat.
07. Bebas dari segala bentuk kebencian.
08. Melatih tanpa kekerasan.
09. Mempraktikkan kesabaran, dan
10. Menghargai pendapat masyarakat untuk meningkatkan kedamaian dan harmoni.
Mengenai perilaku para penguasa, Beliau lebih lanjut menasihatkan:
1. Seorang penguasa yang baik harus bersikap tidak memihak dan tidak berat sebelah terhadap rakyatnya.
2. Seorang penguasa yang baik harus bebas.dari segala bentuk kebencian terhadap rakyatnya.
3. Seorang penguasa yang baik harus tidak memperlihatkan ketakutan apapun dalam penyelenggaraan hukum jika itu dapat dibenarkan.
4. Seorang penguasa yang baik harus memiliki pengertian yang jernih akan hukum yang diselenggarakan.
Hukum harus diselenggarakan tidak hanya karena penguasa mempunyai wewenang untuk menyelenggarakan hukum. Dan.dikerjakan dalam suatu sikap yang masuk akal dan dengan pikiran sehat, (Cakkavati Sihananda Sutta) Dalam Milinda Panha dinyatakan: Jika seseorang yang tidak cocok, tidak mampu tidak bermoral, tidak layak, tidak berkemampuan, tidak berharga atas kedudukan sebagai raja, telah mendudukkan dirinya sendiri sebagai seorang raja atau seorang penguasa dengan wewenang besar, dia akan menjadi sasaran penyiksaan. Menjadi sasaran berbagai macam hukuman oleh rakyat. Karena dengan keberadaannya yang tidak cocok dan tidak berharga, dia telah menempatkan dirinya secara tidak tepat dalam kedudukannya.
Sang penguasa seperti halnya orang lain yang kejam dan melanggar moral etika dan aturan dasar dari semua hukum-hukum sosial umat manusia, adalah sebanding sebagai sasaran hukuman dan lebih lagi, yang pantas menjadi kecaman adalah penguasa yang berbuat sendiri sebagai seorang perampok masyarakat. Dalam suatu cerita Jataka, disebutkan bahwa seorang penguasa yang menghukum orang yang tidak bersalah dan tidak menghukum orang telah melakukan kejahatan, tidak cocok untuk mengatur suatu negara. Raja yang selalu memperbaiki dirinya sendiri dan secara hati-hati memeriksa tingkah lakunya baik perbuatan, ucapan dan pikiran, mencoba untuk menemukan dan mendengar pendapat publik apakah dia telah bersalah atau tidak dalam mengatur kerajaannya. Jika ditemukan bahwa dia telah mengatur secara tidak benar, masyarakat akan mengeluh bahwa mereka telah dihancurkan oleh penguasa yang jahat dengan perlakuan yang tidak adil, hukuman, pajak, atau tekanan-tekanan lain termasuk korupsi dalam segala bentuk, dan mereka akan bereaksi menentangnya dalam satu atau lain cara. Sebaliknya, jika seorang penguasa mengatur dengan cara yang benar mereka akan memberkahinya dengan “Panjang umur Yang Mulia” (Majjhima Nikaya) Penekanan Sang Buddha pada tugas moral seorang penguasa untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat telah mengilhami Raja Asoka pada abad ketiga Sebelum Masehi untuk berbuat demikian.
Raja Asoka, contoh seorang raja berhasil dengan prinsip ini, berketetapan untuk hidup menurut Dhamma dan mengkhotbahkan Dhamma serta melayani rakyatnya dan semua umat manusia. Dia mengajarkan tanpa kekerasan kepada tetangga-tetangganya, meyakinkan mereka dan mengirim utusan kepada para raja membawa pesan perdamaian dan tanpa agresi. Dengan penuh semangat mempraktekkan kebajikan moral, kejujuran, ketulusan, welas asih, kebaikan hati, tanpa kekerasan, penuh perhatian dan toleransi terhadap semua manusia, tidak tinggi hati, tidak tamak, dan melukai binatang. Beliau mendorong kebebasan beragama dan secara berkala membabarkan Dhamma kepada orang-orang di pedalaman. Beliau menangani pekerjaan kebutuhan masyarakat, seperti: mendirikan rumah-rumah sakit untuk manusia dan binatang, memasok obat-obatan, menanam hutan-hutan kecil dan pohon-pohon di tepi jalan, menggali sumur-sumur, dan membangun tanggul-tanggul air dan rumah-rumah peristirahatan. Beliau juga melarang bertindak kejam terhadap binatang-binatang. Kadang-kadang Sang Buddha dikatakan sebagai pembaharu sosial. Antara lain Beliau mencela sistem kasta, memperkenalkan persamaan manusia, berbicara akan kebutuhan untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi, memperkenalkan pentingnya pembagian kekayaan yang lebih pantas diantara yang kaya dan yang miskin, meningkatkan status wanita, menganjurkan memasukkan kemanusiaan dalam pemerintahan dan administrasi, dan mengajarkan bahwa suatu masyarakat harus dijalankan tanpa keserakahan.
Tetapi dengan penuh pertimbangan dan welas asih bagi rakyat. Meskipun demikian, kontribusinya terhadap umat manusia jauh lebih besar. Karena Beliau mulai pada titik yang tidak pernah dilakukan oleh pembaharuan sosial lain, yaitu, dengan masuk ke akar yang terdalam dari penyakit manusia yang ditemukan dalam batin manusia. Hanya di dalam batin manusia pembaharuan sejati dapat berpengaruh. Pembaharuan yang dipaksakan mempunyai usia yang sangat pendek karena tidak mempunyai akar atau pondasi. Tetapi pembaharuan yang bersemi sebagai hasil transformasi kesadaran dalam (diri) manusia tetap berakar. Sementara cabang-cabangnya menyebar keluar, menarik makanan dari sumber yang tak pernah gagal yaitu bawah sadar yarig penting seka!i bagi aliran kehidupan itu sendiri. Jadi pembaharuan muncul ketika pikiran manusia telah menyiapkan jalan untuk mereka, dan mereka hidup selarna manusia menghidupkannya kembali dengan sumber cinta mereka sendiri akan kebenaran dan keadilan, terhadap sesama manusia.
Doktrin yang dikhotbahkan Sang Buddha tidak berdasarkan pada filosofi politik. Bukan pula sebuah doktrin yang mendorong manusia menuju kesenangan duniawi. Doktrin tersebut menyiapkan jalan ke Nibbana. Dengan kata lain tujuan akhirnya adalah untuk mengakhiri keinginan (tanha) yang membuat manusia tetap terikat pada dunia. Dhammapada 75menyarikan dengan baik pernyataan ini, “Jalan yang menuntun kepada perolehan duniawi adalah satu, dan jalan yang lain menuntun ke Nibbana (dengan menjalani suatu kehidupan agama) “. Betapapun, ini tidak berarti bahwa agama Buddha tidak dapat atau harus tidak terlibat dalam proses politik, yang merupakan suatu realitas sosial. Bagaimanapun kehidupan anggota masyarakat dibentuk oleh hukum-hukum dan peraturan-peraturan, aturan-aturan ekonomi, lembaga-lembaga, yang dipengaruhi oleh penataan politik dari masyarakat tersebut. Namun, jika seorang umat Buddha berharap untuk terlibat dalam politik, dia harus tidak menyalahgunakan agama untuk memperoleh kekuatan politik. Juga tidak dianjurkan bagi mereka yang telah melepaskan kehidupan duniawi untuk menjalani suatu kehidupan agama yang murni untuk secara aktif terlibat dalam politik. (Sujayo)
http://pendahuluan.blog.friendster.com/?cat=743682

( http://artikelbuddhist.com/2011/05/buddhisme-dan-politik.html )

Warga Negara Yang Baik Dalam Buddhisme


Warga negara yang baik dalam Buddhisme

Warga negara yang baik dalam Buddhisme
Oleh Ari Mariyono, S.Ag    Komponen suatu negara merupakan bentuk bagian yang sangat majemuk yang mana terdiri dari berbagai jenis budaya, adat istiadat yang membentuknya. Dalam hal ini tidaklah terlepas dari Peran Sumber Daya Manusia yang menempati bagian negara tersebut, yaitu kesejahteraan, keadilan dan kemakmuran bangsa itu dapat dikondisikan oleh Sumber Daya Manusia yang menempatinya. Peran warga negara untuk memajukan bangsa dan negara merupakan kewajiban sepenuhnya yang harus dipatuhi oleh semua penduduk sebuah negara tersebut.
Kewajiban Menjadi Warga Negara
Pada hakikatnya setiap warga negara memiliki kewajiban dalam pembelaan tanah air serta wajib menyampaikan pendapatnya untuk kemajuan dan kesejahteraan bangsa dan negara serta wajib mematuhi peraturan yang ada dalam negaranya. Hal ini diatur dalam undang-undang yang berlaku dalam kenegaraannya masing-masing. Di Indonesia hal tersebut diatur dalam UUD 1945 (Kansil, 2004: 50-54) yaitu terdapat dalam pasal-pasal dalam Undang Undang dasar yaitu:
Pasal 27 ayat tiga, Setiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam upaya pembelaan negara.Pasal 28 ayat 3 poin kesatu, Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapatkan pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni, dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.Pasal 28 ayat 3 poin kedua, Setiap warga negara berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat, bangsa, dan negaranya.Pasal 30 ayat 1, Tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara.Pasal 30 ayat 2, Usaha pertahanan dan keamanan negara dilaksanakan melalui sistem pertahanan dan keamanan rakyat semesta oleh Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian Negara Republik Indonesia, sebagai kekuatan utama, dan rakyat, sebagai kekuatan pendukung.
Pasal-pasal tersebut merupakan sarana untuk warga negara dalam menyumbangkan kemampuan, bakat, serta kepandaian dalam memajukan serta mengabdikan diri pada bangsa dan negara.
Pandangan agama Buddha terhadap peran sebagai warga negara dimulai dari membangun individu manusia yang bermoral baik, menjalankan norma yang ada dalam masyarakat dan agama serta mentaati peraturan yang ada dalam suatu negara. Dhammananda (2003: 416) menekankan bahwa kedamaian suatu negara atau dunia akan tercapai jika setiap indivudu dapat mengamankan dirinya sehingga kedamaian dapat dimulai dari diri sendiri dan berkembang dalam lingkungan yang lebih luas. Dengan dimulai dari individu yang baik maka dapat diterima dalam masyarakat, sehingga mampu memberikan ide atau gagasan untuk diterima di dalam masyarakat. Gagasan atau ide yang diterima tentunya memiliki manfaat untuk kemajuan bersama. Tindakan sederhana demikian merupakan contoh peran sebagai warga negara.
Selain itu Buddha menekankan bahwa seseorang harus memiliki suatu keahlian sehingga dapat menghidupi dirinya sendiri dan memberikan manfaat terhadap makhluk lain, maupun dapat berperan dalam kepentingan banyak orang. Buddha bersabda dalam Ma?ggala sutta, Khuddakapatha (?anamoli, 2005: 146) bahwa seseorang yang memiliki banyak pengetahuan dan keterampilan merupakan berkah utama. Untuk mewujudkan manusia yang mempunyai keahlian serta keterampilan, Buddha dalam Angutara Nikãya (Hare, 2001: 188) menekankan manusia untuk: (1) menjadi rajin dan terampil, (2) menjaga harta kekayaan, (3) memiliki dan menjadi teman yang baik, serta (4) memiliki mata pencaharian yang benar. Nasihat ini jika diterapkan pada setiap individu, maka akan tercipta warga negara yang memiliki kepedulian terhadap sesama, tanggung jawab yang tinggi sehingga kedamaian dan ketenteraman dapat terwujud dengan adanya peran yang aktif dari warga negaranya.
Dalam agama Buddha warga negara dilihat dari cara menjalani kehidupan terdiri dari dua kelompok besar (Rashid,1997: 23) yaitu:1. Gharavasa (umat awam) adalah orang yang menjalani hidup berkeluarga atau tidak berkeluarga yaitu mempunyai pekerjaan, seperti: petani, pedagang, militer dan lain-lain yang memberikan penghasilan untuk biaya kehidupan mereka.2. Pabbajita adalah orang yang meninggalkan kehidupan berumah tangga, keduniawian, dan menjalani hidup suci (brahmacari). Pabbajita terdiri dari bhikkhu, bhikkhuni, samanera, samaneri (Panjika 2004: 341 dan 372) bhikkhu adalah rohaniawan agama Buddha laki-laki, bhikkhuni adalah rohaniawan agama Buddha perempuan, samanera adalah calon bhikkhu, samaneri adalah calon bhikkhuni.
Dilihat dari dua cara kehidupan tersebut masing-masing mempunyai peran dalam upaya pembelaan negara. Dalam hal ini umat awam lebih bebas dalam mengekpresikan dirinya dalam kehidupan bernegara jika dibandingkan dengan para pabbajita. Dalam Buddhisme, umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk menguasai dan mempergunakan kekuasaan politik. Selain itu menurut Dammananda (2003: 419) umat Buddha (khusus umat awam) diperbolehkan ikut dalam peperangan, hal ini seperti yang diceritakan bahwa suatu ketika Sinha, seorang jenderal angkatan bersenjata, menghadap Buddha dan menanyakan tentang peperangan untuk alasan yang benar diperbolehkan.
Dalam Dhamma menegaskan jika terdapat seseorang yang patut menerima hukuman harus dihukum. Dan ia yang patut diberi hadiah harus diberi hadiah. Jangan melukai makhluk hidup apapun, tetapi berlakulah adil, penuh cinta, dan kebaikan. Orang yang dihukum atas kejahatannya akan terluka bukan dari niat buruk hakimnya tetapi melalui tindakan jahat itu sendiri. Dalam hal ini Buddha mengajarkan bahwa semua peperangan di mana manusia mencoba membantai saudaranya sangat disayangkan. Terkecuali jika tidak ada cara lain mereka yang terlibat perang untuk memelihara kedamaian dan keteraturan, setelah menghabiskan segala cara untuk menghindari konflik.
Dalam Dhamma menekankan bahwa jika seseorang yang berjuang demi kedamaian dan kebenaran akan mendapatkan ganjaran besar: bahkan kekalahannya akan dianggap sebagai kemenangan. Namun dalam hal ini Buddha tetap lebih mengutamakan bentuk penyelesaian masalah dengan perdamaian karena perdamaian merupakan kemenangan sepenuhnya.
Sebagai warga negara para pabbajita mempunyai peran dalam mengabdikan dirinya dalam kenegaraan. Menurut Dhammananda (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl.phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid) peran tersebut adalah sebagai berikut:1. Para pabbajita dapat mendidik para raja dan menteri (para politisi) dengan mengajarkan Dharma kepada mereka, menjadi penengah dalam berbagai permasalahan politik dan melindungi hak-hak para warga negara pada saat diperlukan. 2. Para pabbajita tidak terlibat sebagai pribadi dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Mereka tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik. Dengan kata lain, para pabbajita boleh terlibat dalam politik tetapi harus dibatasi misalnya para pabbajita hanya boleh diminta untuk memberikan pertimbangan atau nasihat dalam pengambilan keputusan, tetapi para pabbajita tidak boleh menjadi politisi.
Dalam pembahasan ini Dhammananda berbicara tentang tidak ada kerugian bagi para pabbajita berpartisipasi dalam politik artinya para pabbajita berbicara tentang pendidikan Dhamma dan menjadi penengah dalam permasalahan politik namun bukan ikut dalam perebutan kekuasaan politik. Hal ini berdasarkan alasan-alasan yang tepat, seperti (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdammadtl. phpidhalcontbuddhism_politik.htmlpathhmid):(a) Hal itu disebabkan oleh sejarah politik sosial seperti dalam kasus para Dalai Lama di Tibet.(b) Mereka yang tidak mempunyai pilihan lain karena lingkungan politik tempat mereka berada. Misalnya, apabila mereka dipilih oleh pihak-pihak yang berwenang untuk menjabat sebagai menteri, wakil rakyat, anggota badan legislatif, dan lainnya.
Sebagai warga negara keteladanan Buddha sangatlah luas yaitu terbukti bahwa telah memberikan ajaran moral kepada umatnya. Setelah mencapai Kebuddhaan, Buddha menempuh perjalanan ke banyak tempat di India untuk membabarkan Dhamma. Selama proses pembabaran Dhamma, Buddha terlibat dalam berbagai peristiwa yang berkenaan dengan politik. Buddha menyelesaikan perselisihan serta memberikan pendidikan nilai-nilai spiritual kepada para raja dan menteri. Buddha tidak terlibat dalam pengendalian dan pelaksanaan kekuasaan politik. Buddha juga tidak terlibat dalam pergulatan kekuasaan politik, tetapi Buddha peduli terhadap situasi kesejahteraan negara. Sebagai contoh dalam Dhammapada Atthakatha Buddha berperan dalam mendamaikan perang saat suku Koliya dan Sakya memperebutkan air sungai, Buddha memberi nasihat kepada mereka agar tidak melakukan peperangan.
Buddha bersabda “Demi keperluan sejumlah air, yang sedikit nilainya, kalian seharusnya tidak mengorbankan hidupmu yang jauh sangat berharga dan tak ternilai” (Setyabudi dan Tim Penerjemah Vidyãsenã, 1997: 318). Jika Beliau tidak menghentikan peperangan maka pertumpahan darah akan terjadi.
PenutupJika semua manusia mengamalkan ajaran moral dari Buddha maka kedamaian seluruh dunia akan terwujud. Di mana setiap warga negara dapat menyelesaikan segala permasalahan dengan sikap damai, tanpa peperangan dan bentuk konfik apapun, dengan demikian akan tercipta keadaan harmonis dan keseimbangan di semua bidang dan masing-masing individu berperan dalam mewujudkan kesejahteraan bersama.
ReferensiDhammananda, Sri. 2003. Keyakinan Umat Buddha. Terjemahan oleh Ida Kurniati. 2005. Jakarta: Yayasan Penerbit Karania.
——————-. 2008. Agama Buddha dan politik (Online) (http://www.samaggiphala.or.id/naskahdamma_dtl.phpid306hal3contbuddhism_politik.htmlpathhmid diakses 12 April 2008).
Hare, E. M. (Ed.). 2001. Thebook of Gradual Sayings, vol III (Anguttara Nikaya). Oxford: The Pali Texts Society. Kansil. 2004. Sekitar UUD 1945 Dewasa Ini. Jakarta: Perum Percetakan Negara Republik Indonesia.
Nyanamoli. (Ed.). 2005. The Minor Reading (Khuddakapatha). Oxford: The Pali Texts Society.
Panjika. 2004. Kamus Umum Buddha Dhamma. Jakarta: Tri Sattva Buddhis Center.
Rashid, Teja SM. 1997. Sila dan Vinaya. Jakarta: Buddhis Bodhi.
Setyabudi, Dharmakusuma, dan Tim Penerjemah Vidyãsenã. 1997. Dhammapada Atthakatha. Jogyakarta: Vidyãnenã

( http://artikelbuddhist.com/2012/07/warga-negara-yang-baik-dalam-buddhisme.html )

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?


Apakah Agama Buddha Itu Kuno?

Apakah Agama Buddha Itu Kuno?
Oleh Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera

Kalau kita melihat agama Buddha ‘secara sepintas’maka kita akan dihadapkan pada satu anggapan bahwa agama Buddha adalah agama yang tidak menarik, agama yang kadang-kadang terlihat bersifat mistis dan sudah tidak cocok lagi dengan kehidupan modern seperti sekarang ini. Mengapa demikian? Coba kita perhatikan semua perlengkapan sembahyang yang ada di altar. Ada patung yang maha besar dan kita bernamaskara atau satu persujudan kepada patung tersebut sehingga orang lalu menyatakan bahwa agama Buddha adalah penyembah berhala. Kita juga akan menemukan dupa/hio dan bunga yang mirip seperti untuk sesajen. Kemudian ada lilin yang seolah-olah berkata bahwa agama Buddha belum percaya akan adanya listrik. Belum lagi terlihat gentong yang memberi kesan seolah-olah kita sedang berada disebuah toko barang antik. Kalau kita perhatikan lagi, kita akan menemukan makhluk-makhluk yang lebih antik lagi; yakni bahwa di zaman yang serba canggih seperti sekarang ini, kita tetap duduk di lantai bila sedang melaksanakan kebaktian. Dari sinilah kritikan-kritikan terhadap agama Buddha dilontarkan! Kita mungkin pernah mendengar orang mengatakan bahwa agama Buddha adalah agama yang sudah kuno dan ketinggalan zaman. Hal ini dapat dimengerti karena mereka hanya melihat dari sudut tradisi/luar saja. Padahal ajaran Sang Buddha tidak pernah ketinggalan zaman.
Lalu apa buktinya bahwa agama Buddha itu mengikuti perkembangan zaman?Setiap kali kita mengikuti kebaktian, kita tentu membaca tuntunan Tisarana dan Pancasila yaitu menghindari pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan. Apakah Pancasila ini sudah kuno dan milik umat Buddha saja? Apakah agama lain menghalalkan pembunuhan dan penganiayaan, pencurian, perzinahan, kebohongan, dan mabuk-mabukkan? Tentu kita akan menjawab: “Tidak!” karena semua manusia pasti harus melaksanakan Pancasila baik pada masa yang lampau, sekarang maupun masa yang akan datang. Ini adalah satu bukti bahwa ajaran Sang Buddha selalu mengikuti perkembangan zaman.
Mungkin hal ini belum dapat memuaskan Saudara karena masih terlalu umum. Untuk itu mari kita lihat intisari/jantung dari seluruh ajaran Sang Buddha. Apakah intisari/jantung ajaran Sang Buddha itu? Intinya adalah “kurangi kejahatan, tambahlah kebaikan, sucikan hati dan pikiran”. Apakah hal tersebut hanya berlaku di zaman Sang Buddha dan hanya milik agama Buddha saja? Apakah agama lain menganjurkan: “tambahlah kejahatan, kurangi kebaikan dan kacaukan pikiran?” tentu tidak! Dengan demikian tidak ada lagi alasan untuk mengatakan bahwa ajaran Sang Buddha sudah kuno dan ketinggalan zaman. Karena sesungguhnya ajaran Sang Buddha selalu mengikuti zaman! Bahkan Albert Einstein yang terkenal sebagai Bapak Ilmu Pengetahuan pernah menyatakan bahwa “Agama yang bisa menjawab tantangan ilmu pengetahuan adalah agama Buddha”.
Oleh karena itu berbahagialah kita sebagai umat Buddha. Namun hanya berpuas diri sebagai umat Buddha masih belum cukup, karena ada ajaran yang lebih dalam lagi yaitu kita hendaknya bisa melaksanakan ajaran Sang Buddha di dalam kehidupan sehari-hari. Ini penting sekali karena ajaran Sang Buddha itu tidak hanya bersifat teori tetapi perlu dilaksanakan! Hal ini sama halnya dengan contoh orang yang mempunyai hobby berenang. Misalnya Saudara diberitahu bahwa berenang itu menyenangkan dan dengan bisa berenang maka Saudara tidak perlu lagi takut kepada air. Lalu Saudara suka berkhayal tentang berenang. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mau mencoba, apakah Saudara akan bisa berenang, walaupun teori-teori berenang sudah dikuasai? Apakah Saudara cuma cukup berbangga: “Ah… saya ‘kan bisa teori berenang.” Tentu tidak! Demikian pula dengan ajaran Sang Buddha! Ajaran Sang Buddha memang sungguh luar biasa, begitu agung, begitu indah dan tidak pernah ketinggalan zaman. Tetapi kalau Saudara tidak pernah mempraktekkannya, apakah hal tersebut akan bermanfaat? Justru dengan melaksanakan ajaran Sang Buddha, Saudara akan bisa menyelesaikan permasalahan di dalam kehidupan sehari-hari.
Lalu bagaimanakah cara menyelesaikan permasalahan kehidupan dengan ajaran Sang Buddha?Sebetulnya ajaran Sang Buddha itu sudah terbabar di altar, hanya saja kita jarang memperhatikannya. Perlengkapan sembahyang yang dianggap kuno itu ternyata mampu menjadi salah satu medium yang dapat membabarkan Dhamma karena tersirat makna yang cukup dalam dan bisa digunakan untuk menyelesaikan permasalahan kehidupan:
1. Patung Sang Buddha
Patung Sang Buddha ini bentuknya bermacam-macam. Ada yang menggunakan bentuk seperti payung yang ada di Candi Borobudur, ada yang menggunakan gaya India, Thailand, Srilanka, dsb. Kenapa bisa berbeda-beda? Karena sesungguhnya patung Sang Buddha bukan melambangkan/mewujudkan manusia Siddhattha Gotama. Jadi kalau Saudara berada di depan patung Sang Buddha, jangan Saudara membayangkan bahwa Sang Buddha itu seperti patung yang ada di hadapan Saudara atau yang pernah Saudara lihat. Kalau kita mengingat kembali riwayat hidup Sang Buddha, kita akan melihat bahwa ketika Beliau masih menjadi bodhisatva, sesungguhnya Beliau memiliki satu kehidupan yang sangat berlebihan; ada harta, tahta dan wanita. Namun Pangeran Siddhattha adalah manusia yang mempunyai cara berpikir yang berbeda. Ketika Beliau menyadari bahwa hidup ini sesungguhnya tidak kekal dan tidak memuaskan, Beliau pun memutuskan untuk mencari obat yang dapat mengatasi ketuaan, sakit, lahir dan mati; walaupun sangat menderita, Beliau terus berjuang. Bahkan pada suatu hari Beliau bertekad untuk tidak akan berdiri dari tempat duduknya sebelum menemukan obat sakit, tua, lahir dan mati; dan malam itu juga Beliau berhasil menembus hakekat hidup yang tidak kekal yang disebut mencapai Nibbana/padamnya keinginan, yang sekarang diperingati setiap hari Waisak. Inilah sesungguhnya makna yang terkandung dari patung Sang Buddha yaitu lambang semangat yang tidak pernah kenal putus asa. Ketika melihat patung Sang Buddha, hendaknya muncul semangat untuk bekerja, semangat untuk berjuang dalam meraih cita-cita. Kita bersujud di depan patung Sang Buddha adalah untuk menghormati Guru kita yang telah mengajarkan kebenaran, jadi bukan menyembah pada patung. Dengan demikian, kita tidak akan pernah kekurangan/kehilangan semangat dalam perjuangan hidup kita.
2. Lilin
Lilin ini sesungguhnya juga merupakan suatu lambang. Seperti lilin yang rela hancur demi menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya seorang umat Buddha mau berkorban untuk kebahagiaan makhluk lain. Pengorbanan besar telah diberikan oleh Guru kita; 6 tahun menderita dan membaktikan diri selama 45 tahun untuk mengajarkan Dhamma setiap hari. Kita pun sebagai murid-muridNya hendaknya bersikap demikian; seperti lilin yang menerangi kegelapan, demikian juga hendaknya kita sebagai umat Buddha bisa menjadi pelita di dalam kehidupan bermasyarakat dengan kebenaran yang dibabarkan oleh Sang Buddha.
3. Bunga
Bunga melambangkan ketidak kekalan; hari ini indah dan wangi tetapi besok akan layu, lusa akan membusuk dan dibuang. Demikian pula dengan diri kita; hari ini kita masih sehat, kuat dan cantik tetapi dengan berlalunya sang waktu; kesehatan, kekuatan dan kecantikan kita pun akan berkurang. Seperti bunga yang sekarang segar, besok akan layu dan dibuang; demikian juga hendaknya kita selalu menyadari bahwa pada suatu ketika kita pun akan dibuang, berpisah dengan yang dicintai dan berkumpul dengan yang dibenci. Oleh karena itu, tidak ada gunanya kita sombong/berbesar kepala karena semua ada batasnya dan tidak kekal. Ini adalah Dhamma yang dipesankan lewat altar.
4. Air
Air ini melambangkan pembersih segala kotoran. Seperti air yang membersihkan semua debu-debu kekotoran; demikian juga ajaran Sang Buddha hendaknya bisa membersihkan segala kekotoran yang melekat di batin dan pikiran kita baik ketamakan, kebencian maupun kebodohan.

( http://artikelbuddhist.com/2012/03/apakah-agama-buddha-itu-kuno.html )

Doa, Bisakah Terkabul?


Doa, Bisakah Terkabul?

Doa, Bisakah Terkabul?
Oleh: Yan Saccakiriyaputta


Hidup ini tidak memuaskan. Ada saja yang kita rasa masih kurang kita miliki; harta, rezeki, berkah, sandang-pangan, pekerjaan, kesehatan, keamanan, keturunan, keselamatan, kebahagiaan, dll. Sesungguhnya semua itu bisa kita dapatkan dengan melakukan suatu usaha, dengan membuat sebabnya, karena manusia memang memiliki potensi untuk itu. Manusia bukanlah makhluk lemah dan ringkih, sehingga untuk memenuhi segala kebutuhannya harus mengharapkan belas kasihan makhluk lain. Menurut agama Buddha, manusia bukanlah wayang golek, yang segala sesuatunya diatur dan digerakkan oleh Pak Dalang/Sutradara. Tak ada makhluk lain yang ikut mengatur persoalan nasib seseorang. Namun karena terbelenggu oleh ketidaktahuan, manusia tidak dapat melihat dan merealisasikan potensi yang ada pada dirinya. Mereka lebih suka memohon dan meminta kepada para dewa, sebagai jalan pintas untuk memenuhi segala keinginannya, tanpa mau bersusah payah. Apalagi bila dalam memohon itu dipersembahkan sajian yang mewah dan mahal, maka dianggap akan lebih mempercepat terkabulnya permintaan mereka. Tindakan memohon dan meminta kemurahari hati para Dewa atau Maha Dewa untuk sesuatu inilah yang umum disebut Berdoa.
Umat Buddha memuja Sang Buddha, sama sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun spiritual, seperti: rezeki, harta, pekerjaan, jodoh, keturunan, keselamatan, berkah, diampuni dosanya, sorga, atau pamrih apapun. Bukan juga karena perasaan takut akan hukuman. Kita menghormat dan sujud kepada Sang Buddha karena Beliaulah yang menemukan dan membabarkan Jalan Kebebasan. Karena itu, tidaklah berkelebihan bila Puja Bakti, sembahyang, dalam agama Buddha adalah betul- betul mumi dan tulus.
Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di hadapan Buddha Rupang, kita bermaksud membuat diri kita merasa berhadapan langsung dengan Sang Buddha. Dengan cara demikian kita memperoleh inspirasi dari sifat pribadi Sang Buddha yang mulia, dan menghirup kasih sayang Beliau yang tak terbatas, serta merenungi dan mencoba untuk mengikuti contoh mulia Beliau. Pohon Bodhi juga merupakan lambang pencapaian penerangan sempuma. Obyek-obyek penghormatan luar ini tidak mutlak perlu, dan ini hanya berguna untuk memusatkan pikiran seseorang kala bermeditasi.
Seseorang yang sudah maju tidak memerlukan obyek-obyek luar tersebut Karena dengan mudah ia dapat memusatkan perhatiannya dan menggambarkan Sang Buddha dalam batinnya. Demi kebaikan kita sendiri dan karena rasa terima kasih, maka kita melakukan penghormatan luar seperti itu. Tapi yang diharapkan oleh Sang Buddha dari para pengikutnya bukanlah penghormatan seperti itu. Sang Buddha bersabda; bahwa cara penghormatan yang paling tepat adalah melaksanakan ajaran-Nya dengan baik.
Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa permohonan, minta-minta keselamatan, berkah, rezeki, pengampunan, dan lain-lain; baik kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, ataupun Tuhan. Beliau tak pernah manjanjikan hadiah kepada mereka yang berdoa kepada-Nya. Sang Buddha tidak hanya menyatakan betapa sia-sianya doa-doa permohonan, tapi juga Beliau mencela perbudakan mental seperti itu.
Mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan umatnya berdoa atau memohon atau meminta-minta kepada Tuhan, karena Tuhan -Yang Maha Esa- dalam agama Buddha bukanlah suatu pribadi atau makhluk hidup yang menjadi tempat menggantungkan hidup, berdoa, atau memohon. Tuhan dipandang sebagai Tujuan Akhir bagi semua makhluk. Dengan demikian, doa permohonan tidak tepat ditujukan kepada Tuhan dalam pengertian agama Buddha. Sang Buddha telah berhasil menempatkan Tuhan pada proporsi yang sebenamya, yaitu sebagai Dhamma Yang Tertinggi, Yang Tak Bersyarat. Demikian juga halnya dengan Sang Buddha, karena telah menyadari dan menyelami hakikat Tuhan yang sebenamya, maka Beliau tidak seharusnya dipaksa untuk mengurusi hat-hal duniawi. Umpamanya, dengan menjadikannya sebagai cukong yang senang berdagang kesejahteraan atau kebahagiaan; ataupun sebagai hakim yang dapat disuap dengan doa-doa, puji-pujian, maupun persembahan kurban. Sebagai Guru yang menganjurkan Ehipassiko, maka mengapa Sang Buddha tidak mengajarkan doa permohonan/minta-minta, dapat dikaji dari manfaat atau kegunaan doa yang demikian itu. Untuk mengkaji manfaatnya, kita dapat membuat suatu analogi yang sederhana.
Ada tiga orang petani, menanam jagung dengan faktor-faktor penunjang tanah, air, cuaca, perawatan, dl1- yang sama. Tapi:
- Si A, berdoa siang malam, agar biji jagung yang ditanam tumbuh menjadi pohon mangga.
- Si B, berdoa agar biji jagung itu tumbuh menjadi pohon jagung.
- Si C, tidak berdoa, karena yakin “segala sesuatu itu akan tumbuh dan berbuah sesuai dengan benih yang ditanam”.
Adakah yang mampu mengabulkan doa/permohonan si A? Rasanya penjelasan lewat analogi tersebut sudah sangat gamblang. Doa hanya terkabul bila pas dan sesuai dengan benih / karma / perbuatan kita; yang sebetulnya tanpa didoakan/dimohonkan/diminta juga pasti akan terkabul. Untuk membuat keinginan kita terkabul, sebab yang tepat mesti kita miliki atau ciptakan. Berdoa, itu boleh dan bisa saja, seperti kita boleh/bisa menebar pupuk, menyiram dengan air, tapi jika tidak menebar benih, maka tak ada yang tumbuh. Doa permohonan menjadi sia-sia bila kita tidak memiliki simpanan karma balk, tidak memiliki penyebab terkabulnya doa permohonan kita.
Sang Buddha saat menjelaskan bagaimana hukum sebab-akibat bekerja dalam pikiran kita, menyatakan bahwa membunuh akan menyebabkan antara lain, berusia pendek. Menghindari pembunuhan, akan menyebabkan usia panjang dan bebas dari penyakit Bila kita gagal mengikuti nasihat yang paling mendasar ini, tetapi tetap berdoa agar berumur panjang dan memiliki kesehatan yang balk, kita telah salah tafsir. Sebaliknya bila di masa lalu seseorang telah menghindari pembunuhan, menyelamatkan nyawa seseorang atau makhluk lain, maka harapannya mungkin bisa terpenuhi. Dengan cara yang sama, Sang Buddha mengatakan bahwa kemurahan hati merupakan awal dari kekayaan. Jika kita murah hati pada kehidupan yang lalu, dan sekarang berharap agar kekayaan kita bertambah, maka keuangan kita bisa berkembang. Sebaliknya bila kita kikir saat ini, kita sedang menciptakan sebab dari kemiskinan kita di masa mendatang!
Bila ada yang merasa doanya terkabul, maka terkabulnya doa itu sesungguhnya karena ia memiliki sebabnya. Ia mempunyai tabungan karma baik di kehidupannya yang dulu, atau karena usahanya pada kehidupannya sekarang ini. Untuk itu beberapa agama cenderung merangkaikan kata doa menjadi “Berdoa dan bekerja”. Kita tentu menyetujui bahwa yang menjadi penentu terpenuhinya keinginan kita adalah kata “bekerja”. Sebab, bekerja tanpa berdoa, keinginan kita masih bisa tercapai. Tapi kalau berdoa saja tanpa bekerja, hasilnya tidak pasti. Apakah semua ini berarti bahwa doa permohonan adalah satu hal yang sama sekali tidak berguna? Walaupun jelas doa itu sendiri tak bisa mengabulkan keinginan kita, tentu tak bisa dikatakan ‘mutlak sia-sia’. Karena bagaimanapun juga, berdoa jauh lebih baik daripada melamun dengan pikiran kosong, apalagi berbohong, mencuri, mabuk-mabukan, atau perbuatan buruk lainnya. Alih-alih mengajarkan doa-doa permohonan yang sia-sia, Sang Buddha mengajarkan Meditasi. Meditasi bukanlah berdiam diri melamun atau mengosongkan pikiran. Meditasi adalah perjuangan pikiran, latihan pengendalian pikiran; mengesampingkan segala pikiran dan nafsu keinginan yang rendah dan egois, mengendapkan kekotoran batin sehingga pikiran menjadi tenang. Makin maju tingkat meditasi kita, makin tenang, jemih, dan terang pikiran kita. Dengan pikiran yang jernih, tentu kita menjadi lebih waspada, bijaksana, dan lebih bisa membedakan antara yang semu dengan yang sejati. Pada tahap lebih lanjut, ini akan mengubah cara berpikir kita, mengubah pandangan dan tabiat kita menjadi lebih baik. Cara berpikir dan tabiat yang baik tentu membuat tindakan kita pun menjadi baik. Otomatis kelak kita akan memetik kebahagiaan, walaupun kita tidak berdoa, memohon, atau meminta. Meditasi merupakan cara sembahyang yang paling mudah dan bersih, karena tidak mewajibkan seseorang untuk mengucapkan apa-apa yang tidak ia mengerti. Tidak memperbesar keinginan atau keegoisan dengan permohonan atau permintaan untuk kepentingan/keuntungan diri sendiri.
Apakah berarti Dewa tidak bisa menolong manusia?
Jangankan Dewa, manusia pun bisa menolong, tetapi bantuan atau pertolongan itu tidak terlepas dari karma kita sendiri, baik pada kehidupan yang lampau maupun yang sekarang. Dewa yang kita mohoni, hanya mampu menyediakan situasi agar karma baik kita bisa tumbuh dan masak.
Bagaimana Dewa bisa menolong? Apabila moral dan batin kita bersih, otomatis para Dewa suka berada di dekat kita. Tanpa diminta pun, mereka akan berusaha membantu kita. Memberi firasat, menghalangi makhluk jahat atau ‘black-magic’ yang ingin mengganggu. Tapi kalau memang karma buruk kita yang lampau telah masak dan situasi serta kondisinya mendukung, maka siapa pun tak sanggup menolong lagi.
Dalam arti sejati:
“Diri sendiri sesungguhnya pelindung bagi diri sendiri. Karena siapa pula yang dapat menjadi pelindung bagi dirinya? Setelah seseorang dapat melatih dirinya dengan baik, maka ia akan memperoleh suatu perlindungan yang sukar diperoleh”. Walau tak ada larangan untuk meminta pertolongan kepada para Dewa, umat Buddha tidak seharusnya menggantungkan hidupnya kepada para Dewa. Kemandirian seharusnya menjadi sikap yang utama. Sebab manusia mempunyai potensi tinggi untuk memenuhi kebutuhannya. Hanya karena ketidaktahuannya atau kebodohannya yang sangat dalam itulah, maka manusia gagal untuk menyadari kemampuan tersebut.
Perlu diketahui bahwa pertolongan yang dapat diberikan oleh para Dewa maupun makhluk lain hanyalah terbatas pada pertolongan yang bersifat duniawi, tidak kekal, bisa musnah, bisa hilang; sehingga akhimya bisa menimbulkan penyesalan dan kedukaan. Sedangkan kesucian, kebahagiaan sejati, dan kesempurnaan, hanya dapat dicapai melalui usaha dan perjuangan sendiri. Sekarang mungkin timbul pertanyaan, “Kalau memang agama Buddha tidak mengenal ajaran tentang doa, permohonan, atau minta-minta, lalu apa yang dilakukan atau diucapkan oleh umat Buddha saat sembahyang?”
Sang Buddha mengajarkan agar kita memperbaiki yang ada di dalam diri kita sendiri, mengikis Lobha, Dosa, dan Moha. Makin bersih batin kita, makin mampu kita menahan diri dari perbuatan salah; yang berarti makin sedikit buah-buah pahit yang bakal kita terima. Yang diucapkan waktu sembahyang adalah PARITTA atau SUTTA. Dengan mengucapkan paritta atau sutta, pikiran dan ucapan diarahkan untuk berpikir dan berucap yang balk. Itu berarti membuat karma baik lewat pikiran dan ucapan. Makna atau tujuan kita mengucapkan paritta adalah sebagai pengulangan terhadap Ajaran Sang Buddha, agar kita selalu ingat terhadap Dhamma Sang Buddha, selalu ingat kepada sila (kemoralan), kepada sifat-sifat luhur Buddha, Dhamma, dan Sangha. Dan pada akhimya ini memberi kita semangat, penguat tekad, pembangkit usaha untuk melaksanakan Dhamma, serta sebagai pengantar yang menenangkan untuk memulai meditasi.
Umat Buddha menyatakan berlindung kepada Tiratana – Buddha, Dhamma, dan Sangha. Hal ini jangan diartikan sebagai perlindungan yang pasif, karena “berlindung” di sini merupakan pernyataan tekad, janji kepada diri sendiri untuk mempelajari, mempraktikkan Buddha Dhamma sampai akhimya mencapai Tujuan. Jadi terlindung tidaknya, tergantung dari praktik Dhamma kita sendiri; sama sekali tidak terkandung pengertian agar Tiratana menyelamatkan kita, tanpa kita perlu mempraktikkan Dhamma itu sendiri.
Ada juga Paritta yang mirip doa, berisi harapan, memang. Tetapi jelas itu tidak bisa disebut doa, memohon, atau meminta, karena sebetulnya itu adalah PATTIDANA atau Pelimpahan Jasa. Terkabul atau tidaknya harapan itu tergantung pada karma masing-masing. Bukan tergantung pada belas kasihan suatu makhluk. Ada juga yang bermakna ADITTHANA, tekad, untuk mewujudkan harapan itu dengan jalan melaksanakan Dhamma.
Bila kita tak bisa membaca paritta, karena sebagai pemula, maka kita bisa mengucapkan: “Semoga semua makhluk berbahagia”. Kalimat itu diulang-ulang terus. Bila hal itu sering kita lakukan dan hayati, maka batin kita akan diliputi oleh rasa cinta kasih (metta). Bila kita hendak melakukan perbuatan/karma buruk yang merugikan makhluk lain, kita cepat menyadari. “Baru saja saya mendoakan agar semua makhluk berbahagia, mengapa sekarang saya ingin menyakiti orang/makhluk lain?” Karma buruk batal kita laksanakan, buah buruk pun tak bakal kita rasakan. “Sembahyang, Puja Bakti, dalam agama Buddha bukan untuk memaksakan keinginan kita, atau mengubah apa yang ada di luar diri kita, tapi untuk mengubah apa yang ada di dalam diri kita, mengikis kekotoran batin; Lobha, Dosa, dan Moha”.
Persembahan, boleh atau dilarang?
Masalahnya bukan boleh atau dilarang, tetapi bermanfaat tidaknya tindakan itu. Sang Buddha tidak pemah melarang umat awam; Sang Buddha hanya memberitahukan akibat, pahala, dan konsekuensi dari suatu tindakan. Kita sujud dan melakukan persembahan, bukanlah karena Sang Buddha memerlukan, meminta, merasa berhak, apalagi mengharuskan. Seseorang yang telah menyucikan pikirannya dan menikmati kebahagiaan yang datang dari kebijaksanaan dan Kebahagiaan Sejati, sama sekali tidak memerlukan apa-apa dari luar dirinya untuk dapat menjadi bahagia. Dan… Sang Buddha sebetulnya tidak memerlukan atau pun memperoleh apa-apa dari persembahan kita!
Apakah ini berarti persembahan kita sia-sia?
Yang mendapatkan manfaat dari persembahan kita sesungguhnya adalah diri kita sendiri. Kita yang belum meraih kesucian, tentu memiliki kemelekatan dan kekikiran. Selalu merasa kurang dan haus. Ini membuat pikiran. kita tidak tenang, mendorong kita untuk menghalalkan segala cara untuk mernperoleh yang kita inginkan. Untuk mengikis kemelekatan dan kekikiran itu, salah satu caranya adalah melaksanakan persembahan atau berdana. Memberi tanpa merasa kehilangan. Hal ini memberikan potensi positif dan mengembangkan pikiran kita, yang selanjutnya memperbaiki tindakan kita.
Bagaimana dengan persembahan hewan kurban?
Mempersembahkan hewan kurban juga baik dan bermanfaat. Tapi, disamping kebaikannya itu, karena ia juga telah sengaja menimbulkan suatu pembunuhan — yang termasuk karma buruk–, berarti persembahan hewan kurban manfaatnya menjadi berkurang, susut Apalagi bila setelah sembahyang, hewan kurban itu dimakan sendiri –tidak didanakan kepada orang lain–, maka manfaatnya menjadi semakin kecil.
Sang Buddha sebagai Guru para Dewa dan manusia, tidak terlalu mengagung-agungkan kehidupan para Dewa, tapi juga tidak terlalu merendahkan kehidupan binatang. Sang Buddha hanya menempatkan pada proporsi yang sebenarnya saja. Memberikan komentar tentang persembahan kurban, Sang Buddha menyatakan: “Barang siapa mencari kebahagiaan bagi dirinya sendiri dengan menganiaya makhluk lain yang juga mendambakan kebahagiaan, tidak akan memperoleh kebahagiaan setelah kematian “.
Bagaimana dengan “doa kaul”?
“Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak. Kalau doa kami dikabulkan, kami akan mempersembahkan ayam panggang 10 ekor”. Secara sadar atau tidak, doa itu bermakna; “Tuhan/Dewa, berilah kami rezeki/makanan/anak, kalau Tuhan/Dewa berikan, nanti saya beri ayam panggang. Tapi kalau Tuhan/Dewa tidak beri, saya juga tidak jadi memberi ayam panggang”. Bila Tuhan/Dewa yang kita sembah mampu memberi kita apapun yang kita minta, apakah kita tidak salah kaprah dengan menjanjikan sesuatu kepadanya? Ibarat kita menjanjikan uang sepuluh ribu rupiah kepada Om Liem, bila Om Liem mau mengabulkan permintaan kita…
Bagaimana “kaul” secara Buddhis?
Berdana, berbuat baik dulu, baru lalu mengharap, “Semoga dengan kebaikan yang saya lakukan ini, saya bisa mendapatkan kebahagiaan/rezeki/makanan/anak”. Jadi, tanam dulu benih jagung kita, baru kita bisa berharap memanen jagung. Kalau kita menanam -mendanakan- sebutir jagung, kelak kita akan mendapatkan hasil, pahalanya berbutir-butir. Kalau kita berharap panen dulu baru kelak menanam, berarti kita perlu banyak belajar dari pak tani.
Semoga tulisan ini bisa memperbaiki cara kita bersembahyang. Semoga semua makhluk berbahagia.
[Dikutip dari Buku Mutiara Dhamma XIV ]

( http://artikelbuddhist.com/2011/06/doa-bisakah-terkabul.html )